
idheadline.com Sudah dua bulan berlalu sejak laporan kekerasan terhadap perempuan berinisial S.W. dilayangkan ke Polres Halmahera Selatan, namun hingga hari ini, tak ada tindakan hukum tegas terhadap terlapor Dion, pria asal Surabaya yang dikenal sebagai pembeli batu Bacan. Keadaan ini memunculkan dugaan kuat adanya pembiaran bahkan perlindungan terhadap pelaku oleh aparat yang seharusnya menegakkan keadilan.
Peristiwa penganiayaan itu terjadi pada Jumat, 23 Mei 2025, sekitar pukul 10.30 WIT di sebuah kamar kos di Desa Tomori, Kecamatan Bacan. S.W. datang ke tempat tinggal Dion dan tanpa alasan langsung menjadi korban kekerasan. Ia ditampar, dijepit di pintu kamar, hingga mengalami luka dan trauma. Kejadian itu dilaporkan ke SPKT Polres Halmahera Selatan dengan nomor STPL/320/V/2025/SPKT. Bukti visum dan kronologi telah diserahkan. Namun hingga kini, laporan itu tak membuahkan kejelasan hukum.
S.W. mengaku kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil. “Saya sudah melapor sesuai prosedur. Bukti saya kasih. Tapi pelaku dibiarkan bebas. Saya korban, tapi justru saya yang merasa dikorbankan lagi oleh diamnya polisi,” ucapnya.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat. Dion, yang dikenal punya relasi bisnis di sektor batu Bacan dan lingkungan hiburan Tomori, diduga mendapat perlakuan istimewa. Tidak ada pemanggilan, tidak ada penahanan, bahkan penyelidikan pun seolah mati suri. Sementara korban harus menghadapi trauma sendirian.
Padahal, hukum sangat jelas mengatur bahwa penganiayaan masuk dalam Pasal 351 KUHP dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara jika menyebabkan luka berat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga memberi perlindungan kepada korban dalam relasi non-resmi. Tapi semua aturan itu seolah tak berlaku ketika pelaku punya kekuasaan atau uang.
Ketika aparat diam dan tidak menjalankan kewajibannya, kepercayaan publik pun runtuh. Warga Halmahera Selatan sudah mulai angkat suara. Tokoh pemuda, aktivis hukum, dan kelompok perempuan menyatakan ketidakpercayaan terhadap Polres Halsel. “Ini bukan sekadar lamban. Ini penghinaan terhadap korban. Kalau hukum bisa dibeli, untuk apa kita punya undang-undang?” kata seorang aktivis lokal.
Kinerja Polres Halsel kini menjadi sorotan tajam. Jika dalam dua bulan saja tidak mampu menindak pelaku kekerasan terhadap perempuan, maka kepemimpinan di institusi itu perlu dievaluasi. Ada seruan agar Kapolres dicopot jika tidak menunjukkan keberpihakan pada korban.
S.W. hanya satu dari sedikit perempuan yang berani melapor. Namun diamnya aparat bisa mematikan semangat perempuan-perempuan lain untuk menyuarakan kekerasan yang mereka alami. Jika hari ini suara satu korban diabaikan, maka ke depan tak akan ada yang berani bicara.
“Saya hanya ingin keadilan. Jangan tambah luka saya dengan ketidakadilan,” ujar S.W. red